Kisah Keteladanan Asy-Syaikh Bin Baz

“…ini tidak cukup untukku.”

Rasyid Ar-Rajih mengisahkan:

Suatu kali saat saya sedang bersama Asy-Syaikh Abdul Aziz bin Baz, seorang laki-laki mendatangi beliau dan meminta bantuan berupa uang. Asy-Syaikh Abdul Aziz bin Baz pun memberi uang kepadanya dalam jumlah besar. Namun orang itu tidak puas dan berkata, “Ini tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan saya.”

Maka beliau menjawab dengan penuh keramahan, “Ambillah, di dalamnya nanti akan ada barakah, insya Allah.”

Laki-laki itu nampak memahami maksud Asy-Syaikh Abdul Aziz bin Baz dan dia pun mengambil uang tersebut sambil mengucapkan terima kasih. (Mawaqif Madhiah fi Hayat Al-Imam ‘Abdul ‘Aziz bin Baz)

Menerapkan Sunnah dalam Semua Urusan

Ibrahim bin Abdul Aziz Asy-Syithri menceritakan:

Saat itu saya sedang bersama Asy-Syaikh Abdul ‘Aziz bin Baz ketika ada telepon dari seseorang untuk meminta fatwa. Bertepatan dengan itu muadzin telah mengumandangkan adzan, maka Asy-Syaikh Abdul ‘Aziz bin Baz berkata kepada penelepon, “Kami akan menjawab adzan dulu,” sambil beliau meletakkan gagang telepon.

Setelah selesai menjawab adzan dan berdoa, beliau kembali berbicara kepada penelepon yang masih menunggu jawaban dari beliau.

Kejadian ini menggambarkan betapa Asy-Syaikh Abdul ‘Aziz bin Baz sangat bersemangat dalam menerapkan Sunnah di semua Urusan. (Mawaqif Madhiah fi Hayat Al-Imam ‘Abdul ‘Aziz bin Baz, hal. 213)

Sedih Saat Teringat Ulama Lain yang Telah Meninggal Dunia

Doktor Nashir bin Misfir Az-Zahrani mengisahkan:

Kapan saja Asy-Syaikh Abdul ‘Aziz bin Baz teringat kepada para ulama yang telah meninggal dunia, khususnya mereka yang dekat dengan beliau, maka beliau akan mengalami kesedihan yang demikian dalam. Beliau kemudian akan berdoa untuk mereka, menangis dan akan tercekat (tidak bisa bicara karena sedih).

Suatu hari, beliau bercerita tentang gurunya, Asy-Syaikh Al-Allammah Muhammad bin Ibrahim rahimahullah, namun beliau tidak mampu untuk menguasai diri agar tidak menanghs. Saya duduk di samping beliau untuk beberapa saat, sementara asisten beliau membacakan fatwa-fatwa dari Asy-Syaikh Muhammad bin Ibrahim rahimahullah. Dalam beberapa kasus, Asy-Syaikh Muhammad bin Ibrahim berbeda pandangan dengan Asy-Syaikh Abdul ‘Aziz bin Baz, maka beliau pun tersenyum dan mendoakan gurunya itu. (Mawaqif Madhiah fi Hayat Al-Imam ‘Abdul ‘Aziz bin Baz, hal. 215)

“Ini hanya untuk mengisi waktu.”

Sa’ad Ad-Dawud menceritakan:

Asy-Syaikh Abdul ‘Aziz bin Baz sangat hati-hati dalam mengisi waktu. Bila beliau melakukan perjalanan dengan mobil untuk mengajar atau untuk menghadiri pertemuan, maka beliau akan membawa sejumlah buku yang telah beliau baca di mana beliau bisa mengambil catatan-catatan yang bermanfaat darinya. Ketika hal ini ditanyakan kepada beliau, beliau hanya menjawab singkat, “Ini hanya untuk mengisi waktu.” (Mawaqif Madhiah fi Hayat Al-Imam ‘Abdul ‘Aziz bin Baz, hal. 194-195)

Nasehat Asy-Syaikh Abdul ‘Aziz bin Baz untuk Presiden Qadhafi

Doktor Bassam Khidar Asy-Syati mengisahkan:

Di antara perbuatan Asy-Syaikh Abdul ‘Aziz bin Baz yang terpuji adalah ketika beliau memberi tahu Presiden Libya Muamar Qadhafi, tentang larangan menghilangkan kata ‘Qul’ yang ada di dalam Al-Qur’an dan bahwa mengucapkan kata tersebut adalah wajib. Beliau melakukan hal ini karena beliau mendengar bahwa Presiden Qadhafi telah memerintahkan stasiun radio dan para pembaca Al-Qur’an agar menghilangkan kata Qul dan diapun telah melakukan perubahan terhadap teks Al-Qur’an yang asli (yaitu dengan menghilangkan kata Qul). Mendengar teguran ini, Presiden Qadhafi mau menerima dan mengembalikan teks Al-Qur’an sebagaimana asalnya.

Pada kejadian yang hampir serupa, Asy-Syaikh Abdul ‘Aziz bin Baz menegur Presiden Tunisia, menjelaskan kepadanya syariat Allah dalam hal kurban dan puasa, bahwa di dalam kedua perintah itu tidak terdapat efek yang negatif terhadap proses pembangunan negara. Beliau memberikan fakta-fakta (dalil) yang meyakinkan untuk membuktikan hal tersebut. (Mawaqif Madhiah fi Hayat Al-Imam ‘Abdul ‘Aziz bin Baz, hal. 189)

“Saya datang ke Riyadh di malam yang dingin…”

Abdullah bin Muhammad Al-Mu’taz menceritakan: Asy-Syaikh Muhammad Hamid, Ketua Paguyuban Ashabul Yaman di negara Eretria berkisah:

Saya datang ke Riyadh di malam hari yang dingin dalam keadaan tidak punya uang untuk menyewa hotel. Saya kemudian berpikir untuk datang ke rumah Asy-Syaikh Abdul ‘Aziz bin Baz. Saat itu waktu menunjukkan pukul 03.00 pagi. Awalnya saya ragu, namun akhirnya saya putuskan untuk pergi ke rumah beliau.

Saya tiba di rumah beliau yang sederhana dan bertemu dengan seseorang yang tidur di pintu pagar. Setelah terbangun, ia membukakan pintu untukku. Saya memberi salam padanya dengan pelan sekali supaya tidak ada orang lain yang mendengarnya karena hari begitu larut.

Beberap saat kemudian aku melihat Asy-Syaikh Abdul ‘Aziz bin Baz berjalan menuruni tangga sambil membawa semangkuk makanan. Beliau mengucapkan salam dan memberikan makanan itu kepada saya. Beliau berkata, “Saya mendengar suara anda kemudian saya ambil makanan ini karena saya berpikiran anda belum makan malam ini.”

Demi Allah, saya tidak bisa tidur malam itu, menangis karena telah mendapat perlakuan yang demikian baik. (Mawaqif Madhiah fi Hayat Al-Imam ‘Abdul ‘Aziz bin Baz, hal. 233)

“Demi Allah, beliau tidak pernah bercerita tentang hal itu…”

Doktor Nashir bin Misfir Az-Zahrani menceritakan:

Asy-Syaikh Abdurrahman bin Atiq, salah seorang yang mendapat bantuan finansial dari Asy-Syaikh Abdul ‘Aziz bin Baz ditanya, “Pernahkah beliau bicara tentang gajinya, bagaimana beliau membelanjakannya atau sesuatu yang berkaitan dengan itu? Atau pernahkah beliau memberitahu anda berapa gaji beliau?”

Asy-Syaikh Abdurrahman menjawab, “Demi Allah, beliau tidak pernah bercerita tentang hal itu kepada saya, dan beliau pun tidak pernah membicarakan gaji orang lain.” ((Mawaqif Madhiah fi Hayat Al-Imam ‘Abdul ‘Aziz bin Baz, hal. 223)

“Ya Syaikh, dia telah berkata tentang anda dan mencela anda…”

Dokter Nashir bin Misfir Az-Zahrani menceritakan:

Beberapa mahasiswa datang kepada Asy-Syaikh Abdul ‘Aziz bin Baz untuk melaporkan keadaan seseorang. Mereka menerangkan tentang kesalahan-kesalahan orang tersebut dan ketergelincirannya dalam beberapa penyimpangan. Maka beliaupun meminta asistennya untuk membuat catatan sehingga beliau nanti bisa menegur dan menasehati orang tersebut.

Sementara asistennya mencatat, salah seorang mahasiswa berkata, “Ya Syaikh, dia pernah berkata tentang anda dan mencela anda.”

Seketika itu Asy-Syaikh Abdul ‘Aziz bin Baz meminta asistennya untuk berhenti mencatat karena beliau merasa bahwa apa yang akan dilakukan bisa dianggap sebagai tindakan balas dendam (karena orang itu telah mencela beliau). (Mawaqif Madhiah fi Hayat Al-Imam ‘Abdul ‘Aziz bin Baz, hal. 204)

“Orang inilah yang berkata begini dan begitu tentang anda”

Abdurrahman bin Muhammad Al-Baddah menceritakan:

Ada satu kejadian di mana Asy-Syaikh Abdul ‘Aziz bin Baz berbeda pendapat dalam sebuah permasalahan dengan seorang ulama dari luar Saudi. Suatu ketika ulama itu datang ke Saudi dan Asy-Syaikh Abdul ‘Aziz bin Baz mengundangnya untuk makan siang di rumahnya dan menjamunya. Dalam acara itu terdapat pula sejumlah pelajar (penuntut ilmu), yang kemudian berkata kepada Asy-Syaikh Abdul ‘Aziz bin Baz, “Orang ini yang telah berkata begini dan begitu tentang anda.” Namun Asy-Syaikh Abdul ‘Aziz bin Baz meminta mereka untuk diam.

Beliau melanjutkan menemani tamunya, dan di akhir pertemuan Asy-Syaikh Abdul ‘Aziz bin Baz mengantar tamunya sampai ke depan pintu dan mengucapkan kalimat perpisahan. Maka tamu itu berkata, “Jika dikatakan kepada saya bahwa ada seseorang di muka bumi ini yang berasal dari generasi Salafus Shaleh, sungguh saya akan mengatakan bahwa beliaulah (yakni Asy-Syaikh Abdul ‘Aziz bin Baz) orangnya.” (Mawaqif Madhiah fi Hayat Al-Imam ‘Abdul ‘Aziz bin Baz, hal. 188)

“Ya, saya Abdul ‘Aziz bin Baz”

Shaleh bin Rasyid Al-Huwaimil bercerita tentang kewibawaan orang-orang yang mulia:

Suatu hari, seorang jamaah haji dari Rusia mendatangi kediaman Asy-Syaikh Abdul ‘Aziz bin Baz di Mina, dan ketika melihat beliau orang itu berkata, “Apakah anda Asy-Syaikh Ibnu Baz?” Asy-Syaikh Abdul ‘Aziz bin Baz pun menjawab dengan ramah, “Ya, saya Abdul ‘Aziz bin Baz.”

Jamaah haji itupun mengucapkan salam, mendekat kepada beliau dan mencium pipi beliau. Ia berkata, “Demi Allah, saya selalu berdoa kepada Allah agar tidak mematikan saya sebelum bertemu dengan anda.” (Mawaqif Madhiah fi Hayat Al-Imam ‘Abdul ‘Aziz bin Baz, hal. 12-13)

“…itu semua adalah atas hidayah dari Alah dan kemudian atas pengaruh buku anda yang kami baca…”

Asy-Syaikh Badar bin Nadir Al-Masyari menceritakan:

Saya teringat ketika ada sebuah surat datang dari seorang wanita Philipina yang dibacakan kepada Asy-Syaikh Abdul ‘Aziz bin Baz. Wanita itu menulis:

“Saya dulunya adalah seorang penganut kristen dan kemudian masuk Islam, begitupun keluargaku (mereka kini masuk Islam) -di mana itu semua adalah atas hidayah dari Allah dan kemudian atas pengaruh buku anda yang kami baca…”

Sampai di sini Asy-Syaikh Abdul ‘Aziz bin Baz merasa demikian terharu dan beliau pun menangis. (Mawaqif Madhiah fi Hayat Al-Imam ‘Abdul ‘Aziz bin Baz, hal. 13)

Setiap Tamu Diajak Makan Malam

Fahd Al-Bakran menceritakan:

Telah banyak diceritakan bahwa bila seseorang ingin berpamitan dari bertamu kepada Asy-Syaikh Abdul ‘Aziz bin Baz di malam hari, maka beliau pun akan segera meminta orang tersebut tinggal lebih dulu untuk diajak makan malam bersama beliau. Inilah kebiasaan beliau terhadap semua orang yang datang ke rumah beliau. Jika orang tersebut menolak, maka beliau akan berkata, “Bila engkau menolak maka hendaknya engkau takut kepadanya (yakni kepada istri beliau yang telah membuat makanan tersebut). Baiknya engkau tinggal dan makan bersama kami.”

Semoga Allah melimpahkan rahmat-Nya kepada beliau dan memasukkan beliau ke dalam jannah-Nya. Amin. (Mawaqif Madhiah fi Hayat Al-Imam ‘Abdul ‘Aziz bin Baz, hal. 13)

“Sesungguhnya Allah itu Maha Pemurah dan senantiasa memberi kemudahan pada semua perkara yang telah ditetapkan-Nya.”

Asy-Syaikh Muhammad bin Abdullah bin Baz (saudara laki-laki Asy-Syaikh Abdul ‘Aziz bin Baz) menceritakan:

Saudara kandungku, Asy-Syaikh Abdul ‘Aziz bin Baz, senantiasa berusaha menjaga hubungan silaturrahim (tali kekeluargaan) dengan saya dan dengan orang tua semenjak beliau masih muda.

Beliau selalu mengunjungiku secara teratur, bertanya tentang keadaanku, dan mencium keningku bila beliau datang ke tempat saya (daerah Al-Badi’ah Al-Qadimah, Riyadh).

Asy-Syaikh Abdul ‘Aziz bin Baz juga selalu menanyakan anak-anak saya dan mendorong anak-anak beliau agar mengunjungiku, semoga Allah merahmati Abu Abdillah (Asy-Syaikh Abdul ‘Aziz bin Baz).

Semenjak muda beliau senang menuntut ilmu, senang bergaul dengan para ulama,
dan menolong mereka. Seperti kebiasaan beliau yang sering meminta kepada ibunya agar beliau bisa membawa teman-temannya sesama penuntut ilmu untuk makan siang atau makan malam bersama.

Saat itu saya pernah bertanya kepada saudaraku itu: “Mengapa engkau sering berbuat demikian?” Beliau rahimahullah menjawab: “Sesungguhnya Allah itu Maha Pemurah dan senantiasa memberi kemudahan pada semua perkara yang telah ditetapkan-Nya.” (Mawaqif Madhiah fi Hayat Al-Imam ‘Abdul ‘Aziz bin Baz, hal. 29)

Nasehat untuk Pendidik Kaum Wanita

Dr. Muhammad bin Sa’ad Asy-Syuwai’ir mengisahkan:

Ketika saya dipilih untuk bertugas di lembaga pendidikan bagi kaum wanita, saya pergi ke Madinah untuk beberapa keperluan. Ketika di sana, saya sempatkan untuk mengunjungi Asy-Syaikh Abdul ‘Aziz bin Baz di Universitas Islam Madinah. Saya sampaikan salam saya dan kemudian beliau memberi beberapa nasehat dan arahan kepada saya. Beliau meminta agar saya menjalankan amanah yang saya emban dengan sebaik-baiknya (yaitu memberi pendidikan kepada kaum wanita), agar saya menjaga mereka dan urusan mereka. (Mawaqif Madhiah fi Hayat Al-Imam ‘Abdul ‘Aziz bin Baz, hal. 28)

“Inilah jalan yang saya tempuh ketika berhadapan dengan raja maupun bukan.”

Asy-Syaikh Abdullah bin Shaleh Al-’Ubaylan menceritakan:

Suatu ketika dalam sebuah pertemuan yang cukup besar, saya mengajukan pertanyaan kepada Asy-Syaikh Abdul ‘Aziz bin Baz: “Ada beberapa ulama yang memiliki perbedaan pendapat dengan anda, namun mereka semua tetap mencintai anda. Kami ingin tahu apa yang menyebabkan hal ini. Mengapa Allah melimpahkan kepada anda karunia berupa sesuatu yang menyebabkan tumbuhnya perasaan cinta di hati mereka kepada anda?”

Maka beliau menjawab: “Aku tidak tahu apapun kecuali bahwa -Alhamdulillah- saat saya mengetahui kebenaran semenjak saya muda maka saya merasa terpanggil (untuk memeganginya). Saya berusaha untuk bersabar terhadap apapun yang menimpa saya sebagai konsekuensi dari sikap saya itu. Saya tidak membenci siapapun dan tidak pula memuji siapapun (yakni sesama makhluk) atas akibat yang menimpa saya. Saya hanya ingin menyampaikan kebenaran dan bersabar terhadap apa yang menimpa saya. Jika ia diterima, maka pujian itu hanya milik Allah. Begitupun bila ditolak, maka pujian itu juga tetap milik Allah. Inilah jalan yang saya pegangi semampu saya, baik dalam ucapan maupun tulisan. Siapa yang menerima maka ia akan menerimanya dan siapa yang menolak maka ia akan menolaknya. Selama saya di atas kebenaran, selama itu pula saya akan menyuarakannya.

Bagi orang-orang yang memiliki perbedaan dengan saya, maka saya katakan, bagi mereka ijtihad mereka. Allah akan memberi balasan dua kepada seorang mujtahid bila ia benar dan akan memberi balasan satu bila ia salah. Maka saya tidak tahu (alasan lain) kecuali hal ini -bahwa saya menyeru kepada kebenaran sesuai dengan kemampuan saya. Alhamdulillah, dan saya pun berusaha untuk menyampaikannya baik secara lisan maupun tindakan. Saya pun tidak pernah memvonis dan tidak pernah pula membuat sakit hati (tersinggung). Bila saya telah menyampaikan, maka saya berdoa semoga Allah memberi kemudahan dan petunjuk kepadanya. Inilah jalan yang saya tempuh ketika berhadapan dengan raja maupun bukan raja.” (Mawaqif Madhiah fi Hayat Al-Imam ‘Abdul ‘Aziz bin Baz, hal. 25)

Bacalah Al-Qur’an Setiap Hari

Asy-Syaikh Abdul Aziz bin Muhammad bin Dawud menceritakan:

Saya pernah berjalan bersama Asy-Syaikh Abdul ‘Aziz bin Baz dari Jami’ Al-Imam Turki bin Abdullah menuju rumah beliau. Beliau bertanya tentang bacaan Al-Qur’an saya. Saya jawab bahwa saya membacanya dari waktu ke waktu, namun tidak punya waktu khusus yang banyak dimana saya bisa membacanya setiap hari. Maka beliau menasehatkan agar saya membaca Al-Qur’an setiap hari, meskipun jumlahnya sedikit. Ini karena siapa saja yang membaca ayat Al-Qur’an meskipun hanya sedikit namun dilakukan setiap hari, maka ia nantinya akan menyelesaikannya. Sebaliknya, siapapun yang tidak membacanya setiap hari meski dia mampu menyelesaikan bacaan Al-Qur-an dalam waktu singkat (hanya dalam beberapa bulan), maka ia bisa kehilangan hapalannya. Beliau kemudian memberi contoh, “Seseorang yang membaca satu juz setiap hari, maka ia akan mengkhatamkan bacaannya selama sebulan. Begitu pula dengan yang membaca dua juz setiap hari, maka ia akan menyelesaikannya dalam 15 hari, begitu seterusnya.” (Mawaqif Madhiah fi Hayat Al-Imam ‘Abdul ‘Aziz bin Baz, hal. 25)

“Di mana Asy-Syaikh Abdul ‘Aziz bin Baz dan kapan beliau datang?”

Dr. Muhammad bin Sa’ad Asy-Syuway’ir menceritakan:

Pada musim haji tahun 1406 H (1996), rombongan jamaah haji pertama yang tiba ke Saudi Arabia adalah dari negara Cina dan di antara mereka terdapat sejumlah ustadz (dari Cina) yang melakukan kunjungan kepada Asy-Syaikh Abdul ‘Aziz bin Baz. Kepala rombongan adalah seorang lelaki yang sudah tua, lulusan dari Universitas Al-Azhar, Mesir. Ia memimpin rombongan yang berjumlah 7 orang. Setelah menyampaikan salam kepada hadirin, kepala rombongan itu bertanya kepada saya, “Di mana Asy-Syaikh Abdul ‘Aziz bin Baz dan kapan beliau datang?” Saya berkata, “Beliau ada di sebelah sana, orang yang baru saja anda beri salam.”

Namun orang ini tidak percaya. Dalam bahasa Arab yang fasih dia berkata, “Saya ingin bertemu beliau sekarang.” Maka saya jawab, “Beliau di sana,” sambil saya menunjuk ke arah Asy-Syaikh Abdul ‘Aziz bin Baz.

Saya kemudian memberi tahu Asy-Syaikh Abdul ‘Aziz bin Baz tentang keinginan orang tersebut. Maka beliau pun dengan segera menghampiri orang itu. Saya lihat orang tua dari Cina itu memeluk dengan erat Asy-Syaikh Abdul ‘Aziz bin Baz sambil menangis. “Segala puji bagi Allah, Dzat yang telah mengabulkan keinginan saya untuk bertemu anda. Kami di Cina telah banyak mendengar tentang anda, yaitu perjuangan anda untuk kaum muslimin dan dorongan untuk mereka,” katanya.

Salah seorang rombongan berkata, “Segala puji bagi Allah wahai Syaikh, di mana Dia telah menjadikan 10 tahun dalam umurku ini bersama-sama dengan anda (yakni dia telah masuk Islam setelah sebelumnya bukan Islam). Anda telah banyak memberi manfaat bagi Islam dan kaum muslimin, sebagaimana juga kepada saya yang hanya seorang anak manusia seperti yang lain dari anak-anak Islam.”

Orang tua pimpinan rombongan pun menangis lagi dan memeluk kembali Asy-Syaikh Abdul ‘Aziz bin Baz, “Segala puji bagi Dzat yang telah mengijinkan saya untuk bertemu dengan anda sebelum saya mati. Saya telah lama menunggu kesempatan ini.” (Mawaqif Madhiah fi Hayat Al-Imam ‘Abdul ‘Aziz bin Baz, hal. 8-9)

Hormat dan Cinta kepada Gurunya

Asy-Syaikh Abdul ‘Aziz bin Baz biasa menangis bila teringat kepada guru beliau, Asy-Syaikh Muhammad bin Abu Lathif Alu Asy-Syaikh rahimahullah. Dalam keadaan demikian maka beliau pun akan mendoakan gurunya itu. Asy-Syaikh Abdul ‘Aziz bin Baz mengatakan bahwa beliau tidak mengenal seorang manusia di muka bumi ini yang lebih berilmu dibanding gurunya, tidak ada yang lebih pandai dalam mengajar, dan gurunya juga seorang yang sangat perhatian terhadap murid-muridnya. Saat menceritakan hal ini biasanya kesedihan beliau akan berkurang dan beliau berdoa kepada Allah agar Dia merahmati gurunya. (Al-Ibriziyyah fi Tis’in Al-Baziyyah, hal. 97)

Membangunkan Anak-anaknya untuk Sholat Shubuh

Putra Asy-Syaikh Abdul ‘Aziz bin Baz, Ahmad, menceritakan:

Asy-Syaikh Abdul ‘Aziz bin Baz biasa membangunkan anak-anaknya melalui telepon internal agar mereka mengerjakan sholat Shubuh. Saat membangunkan itu biasanya beliau sambil berdoa:

“Alhamdulillahilladzi ahyanaa ba’da maa amaatanaa wa ilaihinnusyur.”

“Segala puji bagi Allah yang telah menghidupkan kami setelah mematikan kami dan kepada-Nya kami kembali.”

Bila anak-anak beliau masih merasa mengantuk maka beliau akan meminta mereka mengulang-ulang bacaan doa tersebut sampai beliau yakin bahwa mereka telah benar-benar bangun. (Al-Imam bin Baz -Durus wa Mawaaqif wa ‘Ibar- hal, 71)

Mimpi Seorang Shaleh

Seorang murid Asy-Syaikh Al-Albani menceritakan:

Ada seorang shaleh dari Siria yang bermimpi beberapa saat sebelum kematian Asy-Syaikh Abdul ‘Aziz bin Baz. Dalam mimpi, orang itu melihat dua bintang di langit yang bergerak dengan kecepatan tinggi menuju bumi. Bintang yang satu telah mencapai bumi, sementara yang satu lagi menunggu di dekat bumi.

Ketika bintang yang satu mencapai bumi, ia menimbulkan suara yang menggelegar dan orang-orang pun panik sambil bertanya, “Apa yang terjadi?”

Orang yang bermimpi itu kemudian terbangun dan kemudian menanyakan arti mimpinya kepada orang yang memahami tafsir mimpi. Mimpi itu ditafsirkan bahwa sesuatu akan terjadi yang menyebabkan manusia tersentak dan menimbulkan kesuraman. Kejadian itu akan diikuti oleh kejadian yang sama, yaitu oleh bintang yang kedua.

Beberapa waktu kemudian datang sebuah berita tentang kematian Asy-Syaikh Abdul ‘Aziz bin Baz yang tidak lama kemudian diikuti oleh Asy-Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani. (Al-Imam bin Baz -Durus wa Mawaaqif wa ‘Ibar- hal, 98)

Hati-hati dalam Mengisi Waktu

Putra Asy-Syaikh Abdul ‘Aziz bin Baz yang bernama Ahmad menceritakan:

Asy-Syaikh Abdul ‘Aziz bin Baz adalah seorang yang sangat hati-hati dalam menghabiskan waktunya, dalam rangka menjadikan setiap detik dari waktu beliau memiliki nilai yang tinggi. Seperti saat sedang naik mobil, maka beliau akan mengisi waktu dengan kegiatan yang berkaitan dengan ilmu, menulis ataupun mendengarkan ceramah.

Buku-buku yang biasa dibaca Asy-Syaikh Abdul ‘Aziz bin Baz saat naik mobil antara lain Majmu’ Fatawa Asy-Syaikh Muhammad bin Ibrahim rahimahullah, Ighatsatul Lahfan karya Ibnu Al-Qayyim rahimahullah, Al-Iqna’ Ibnu Al-Mundhir rahimahullah, Kitab Marwiyatal La’an fis-Sunnah. Juga beberapa kitab yang ukurannya lebih kecil. (Al-Imam bin Baz -Durus wa Mawaaqif wa ‘Ibar- hal, 13)

Sumber: Untaian Mutiara Kehidupan Ulama Ahlus Sunnah, oleh Abu Abdillah Alercon, dll (www.fatwaonline.com), penerbit Qaulan Karima, hal. 24-38.

____________________
sumber: http://fadhlihsan.wordpress.com/

Tinggalkan komentar